banner 720x220

Cikoneng, Surga Makanan Ringan yang Kian Meredup, Identitas Kuliner yang Mulai Luntur

Identitas Cikoneng sebagai pusat makanan ringan perlahan meredup, tergilas perubahan zaman, tekanan industri modern, dan minimnya perhatian pemerintah. Gambar Ilustrasi dengan AI.
Identitas Cikoneng sebagai pusat makanan ringan perlahan meredup, tergilas perubahan zaman, tekanan industri modern, dan minimnya perhatian pemerintah. Gambar Ilustrasi dengan AI.

Ciamis, Kondusif  Subuh di Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis, dulu bukan sekadar awal hari, melainkan awal kesibukan yang khas. Gadis-gadis muda berjalan kaki menuju pabrik-pabrik industri rumahan, tangan mereka cekatan membungkus kerupuk, makaroni, hingga wajit yang nantinya akan tersebar ke berbagai kota.

Cikoneng bukan sekadar tempat produksi, tetapi juga simbol kreativitas kuliner yang tak terbendung.

Namun, hari ini, suasana itu tak lagi seramai dulu. Langkah kaki yang dulu riuh kini berkurang. Banyak pabrik rumahan yang dulunya berdiri tegak kini tutup satu per satu.

Identitas Cikoneng sebagai pusat makanan ringan perlahan meredup, tergilas perubahan zaman, tekanan industri modern, dan minimnya perhatian pemerintah.

Cikoneng, Dulu dan Kini

Sekitar dua dekade lalu, nama Cikoneng begitu populer di industri makanan ringan Indonesia. Kerupuk, berondong, tengteng, hingga cilok khas Cikoneng tak hanya terkenal di daerah sekitar, tetapi juga menembus pasar nasional. Jika Tasikmalaya memiliki Rajapolah dengan kerajinan tangannya, maka Cikoneng memiliki kuliner khas yang menjadi kebanggaan.

Namun, seiring berjalannya waktu, industri makanan ringan rumahan di Cikoneng mulai menghadapi tantangan besar. Persaingan dengan produk-produk pabrik besar dari kota-kota metropolitan seperti Jakarta semakin ketat. Produk yang dulu menjadi primadona kini perlahan tergeser oleh makanan ringan modern yang produksinya secara massal dengan teknologi canggih dan para peminat dengan mudah membeli dengan cara online shop.

Asep (58), seorang pemilik home industri kerupuk di Cikoneng, merasakan langsung dampaknya. Usahanya masih berjalan meski dalam keadaan merangkak tak sepesat dulu.

“Dulu, pesanan kerupuk kami bisa mencapai ratusan kilogram per minggu. Sekarang, setengahnya saja sudah bagus. Pasar semakin sulit, harga bahan baku naik, sementara daya beli masyarakat juga menurun,” ujarnya saat ditemui di rumah produksinya pada 11 Februari 2025.

Menurut Asep, salah satu faktor utama yang membuat industri rumahan di Cikoneng semakin terpuruk adalah persaingan dengan produk industri besar yang memiliki modal lebih kuat.

“Kami ini usaha kecil, tidak punya mesin canggih seperti pabrik-pabrik di kota besar. Kalau mau bersaing, harus kreatif, tapi biaya produksi juga terus naik. Kalau harga terlalu mahal, pelanggan lari ke produk yang lebih murah,” katanya.

Selain itu, Asep juga menyoroti berkurangnya minat generasi muda untuk meneruskan usaha keluarga.

“Anak-anak sekarang lebih memilih kerja di kota daripada meneruskan usaha ini. Mereka melihat usaha makanan ringan seperti ini tidak lagi menjanjikan. Padahal, kalau dikelola dengan baik, masih bisa berkembang,” tambahnya dengan nada prihatin.

Minimnya Perhatian Pemerintah

Di tengah keterpurukan industri makanan ringan di Cikoneng, peran serta pemerintah seolah tak terasa. Dinas terkait, terutama Dinas Perdagangan, dinilai kurang memberikan solusi nyata bagi para pelaku usaha kecil. Program-program yang ada lebih sering bersifat seremonial tanpa dampak besar bagi pengusaha rumahan.

“Setiap tahun ada saja acara UMKM, ada seminar, ada bazar, tapi pesertanya itu-itu saja. Yang dapat kesempatan cuma UMKM yang dekat dengan mereka. Sementara kami yang benar-benar butuh bantuan, dibiarkan begitu saja,” ungkap Asep.

Ia juga menyoroti anggaran besar yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membantu pemasaran produk UMKM secara lebih luas.

“Kalau pemerintah serius, harusnya ada bantuan untuk promosi. Kami ini butuh akses ke pasar yang lebih luas, bukan sekadar pameran sehari-dua hari lalu selesai tanpa hasil,” kata Asep.

Asep berharap pemerintah daerah bisa lebih berpihak kepada pelaku usaha rumahan yang benar-benar berjuang dari bawah. Menurutnya, bantuan dalam bentuk pelatihan pemasaran digital, akses ke marketplace, serta pendampingan pengembangan produk jauh lebih bermanfaat ketimbang acara seremonial yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

banner 720x220

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *